Akhir-akhir ini bumi pertiwi sedang ditimpa  musibah,  luka lama yang belum kering kini kembali basah oleh isak tangis korban  gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kota Palu dan Donggala Sulawesi Tengah. Sebelumnya gempa terjadi di Lombok Nusa Tenggara Barat, bahkan setabilitas perkenomiannya pun belum pulih total, sekarang giliran Kota Palu dan Donggala Sulawesi Tengah yang terkena musibah. Hal ini sudah tidak aneh lagi karena indonesia berada diantara aktifitas tiga lempeng tektonik yaitu: Lempeng Benua Eurasia, Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Samudera Pasifik sehingga rawan terjadi gempa bumi. 

Tidak berhenti disitu sekarang Banten pun sedang dilanda musibah, tepatnya di pesisir pantai selat sunda. Bukan hanya itu saja Isu politik pun kini kian mengkhawatirkan isu agama menjadi topik pembicaraan diberbagai kalangan. Namun, sangat disayangkan banyak sebagian orang malah memanfaatkan kejadian ini untuk menyebarkan isu-isu yang memperkeruh keadaan. Mereka lebih menganggap penting popularitas di mediasosial atau memang untuk menjatuhkan pihak yang bersebrangan pemikirannya dengan menggoreng isu-isu yang ada demi memuluskan akal busuknya dari pada berusaha membantu meredakan isak tangis kesulitan dan menjaga stabilitas nasional.

Maka dari itu perlu pemahaman terhadap definisi musibah itu sendiri agar tidak mudah mengeluarkan asumsi-asumsi yang bersifat spekulasi saja. Menurut Muhammad Mahmud Al-Hijazi (1413 H: 621), Musibah adalah setiap sesuatu yang menimpa manusia baik itu berupa kebaikan ataupun keburukan, namun biasanya berupa keburukan. Melihat definisi diatas kita bisa menarik kesimpulan dan mengkategorikan semua kejadian yang menimpa manusia berupa keburukan yang merugikan manusia seperti tsunami, gempa bumi, kekeringan, dan semua hal yang menyulitkan dan memberikan penderitaan kepada manusia.




Allah berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 22:

مَا أَصابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَها إِنَّ ذلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (الحديد: 22)

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Makna musibah dalam ayat ini menurut Fakhrudin Ar-Rozi (1420 H: 466), adalah kemarau, paceklik dan harga pangan meroket.  At-Thobari menukil pendapat Ibnu Abbas dalam tafsirnya (2000 M: 197), bahwasannya yang dimaksud musibah pada ayat ini adalah musibah dalam agama ataupun permasalahan yang bersifat duniawi semuanya tidak lepas dari ketentuan yang telah Allah  tuliskan dalam kitabnya (garis takdirnya). Imam Alghozali dalam kitabnya Minhajul Abidin menjelaskan “ketahuilah, betapapun taqdir akan tetap berlaku kalau engkau ridho akan taqdiri ini engkau akan mendapatkan ampunan dan pahala sebaliknya jika engkau tidak ridho maka takdir tetap berlaku dan engkau akan mendapatkan dosa”. 


Lantas pantaskah kita manusia lemah banyak berasumsi terkait kejadian-kejadian yang mengiris hati dibumi pertiwi yang baru-baru ini terjadi dengan banyak menyalahkan salah satu diantara kita. Apakah hal tersebut bisa menyelesaikan masalah? Tentu tidak, malah hanya memperumit saja.

Perbanyaklah instrospeksi diri bukan menyalahkan orang lain sebagiamana firman Allah Surat An-Nisa ayat 79:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana bencana yang menimpamu dari kesalahan dirimu sendiri”

Adapun yang dimaksud apa saja bencana bencana yang menimpamu dari kesalahan dirimu sendiri adalah siksaan atau balasan terhadap kejelekan yang diperbuat manusia. Maka dari itu isu-isu yang disebar luaskan bukan malah menguntungkan justru itu malah mendatangkan bencana lainnya, bukan bukan meringankan masalah justru menimbulan masalah. Sama saja kau menanam musibah dalam musibah.

Dari pemaparan diatas sudah sepatutnya kita sekarang menjadi masyarakat yang dewasa  tidak mudah termakan isu murahan, kedepankan persatuan.  Mari kita pikul bersama beban bangsa ini. Tak perlu disibukan dengan pencarian yang sifatnya ambigu siapa penyebabnya?, yang hanya menambah masalah saja. Tapi, tanyakan kenapa ini bisa terjadi?, agar solusi demi solusi kita bisa pecahkan bersama. Bukan lagi kamu, dia, mereka tapi kita.