“Merendahlah serendah-rendahnya, sampai orang lain bahkan tak mampu merendahkanmu lagi” - Pesan Ayah yang sering diulang-ulang

Hidup kita sekarang adalah hidup di masa orang ingin banyak berbagi. Berbagi kebahagiaan, berbagi kesedihan, berbagi hal-hal dalam kehidupan melalui platform sosial medianya masing-masing. Termasuk berbagi pencapaian, ikut seminar, dapat sertifikat, bahkan terkadang hal-hal yang seharusnya menjadi konsumsi ruang privasi masih juga dibagikan di sosial media.
Sekarang betapa banyak klaim-klaim yang terlahir dari sosial media. Para anak muda berlomba-lomba meng-klaim menjadi “founder”, “co-founder”, “CEO”, dan aneka macam jenis klaim lainnya, yang terkadang membuat saya kian hari kian merenung, apakah benar setinggi itu “klaim” yang kita tuliskan di platform media sosial kita?
Nyatanya terkadang, kita mungkin tidak setinggi itu. Kita sedang berada di masa di mana orang berusaha mencapai pengakuan sosial setinggi-tingginya. Saya tidak berada dalam posisi menyalahkan, hanya saja mencoba merenungi, setinggi itu kah pencapaian dan kontribusi kita? Apakah benar yang kita klaim-kan itu bernilai amal ibadah di sisiNya? Atau bahkan justru itu tidak membawa nilai apa-apa, bahkan ditulis sebagai riya’ yang membumi hanguskan amal ibadah kita? Semestinya kita harus jauh lebih waspada.
Kalau kita kembali membaca sejarah, bagaimana para sahabat dan shalafus shalih menyembunyikan amal baiknya, hingga pada akhirnya Allah sendiri-lah yang mengabarkan melalui RasulNya agar dapat menjadi inspirasi bagi para sahabat yang lain. Mereka selalu menampakkan kerendahan yang padahal mereka jauh lebih tinggi dari apa yang disangkakan.
Saya menjadi teringat nasihat almarhumah nenek saya,
“Gak opo-opo diilokne wong elek, sing penting awakmu gak elek. Gak opo-opo dicap wong gak nduwe opo-opo, sing penting awakmu iku nduwe opo-opo. Gak opo-opo diilokne wong ora apik, sing penting atimu iku apik”
(Tidak apa-apa diejek orang jelek, yang penting kamu itu tidak jelek. Tidak apa-apa di cap orang sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa, yang penting sebenarnya kamu itu berkecukupan bahkan kaya. Tidak apa-apa diejek orang itu tidak baik, yang penting hatimu baik)
Kita tidak akan pernah selesai jika menanggapi sekeliling dan orang-orang di sekitar kita. Yang ada hanyalah kita akan lelah sendiri, sementara masih banyak waktu yang sudah seharusnya kita pergunakan untuk mengupgrade diri. Dan tak perlu barangkali terlalu menampak-nampakkan segala proses kebaikan, entah di media sosial, atau digembor-gemborkan.




Barangkali akan jauh lebih tenang, saat kita merendahkan kita, di hadapan orang, teman, rekan, seolah kita tak punya apa-apa. Seolah kita hanya biasa saja. Sebab, kembali lagi ke falsafah hidup yang diajarkan almarhumah nenek saya tadi, jika kita terus disibukkan meninggikan diri, maka tidak akan pernah ada habisnya kita berusaha melampaui pencapaian orang lain. Sementara saat kita memilih terlihat rendah, maka orang lain pun takkan pusing, hingga bahkan bingung bagaimana lagi harus merendahkan kita.
Jadi, merendahlah, hingga orang lain tak mampu merendahkanmu lagi. Meninggilah dalam hati, meninggilah diam-diam, hingga suatu hari nanti, biarlah Yang Maha Mengetahui, yang membuka tabir itu sendiri, bukan saat kamu menginginkannya, namun saat kamu membutuhkannya.