Seiringnya bertambah usia, semakin kita berproses mendewasa. Hubungan pertemanan kita menjadi semakin rumit. Bahkan tak jarang lingkaran pertemanan kitapun menjadi semakin sempit.

Kita tidak lagi seperti anak-anak yang saling mencari, yang tak sungkan memanggil, dan mau menemui lebih dulu. Kita menunggu sahabat-sahabat kita punya waktu untuk kita, menunggu mereka untuk menghubungi lebih dulu.

Jikapun mereka mau menemui, obrolan kita tidak mengalir seperti waktu kecil dulu. Sekarang, obrolan kita lebih banyak membicarakan diri kita sendiri. Kita menempatkan diri kita sebagai tokoh utama yang menjadi pusat perhatian.





Apa yang kita kerjakan, apa yang kita capai, apa yang sudah kita miliki, dan apa yang tengah kita perjuangkan. Semuanya tentang kita, seolah kita ingin menunjukan bahwa pilihan dan keputusan kita adalah yang paling baik.

Kita lupa meletakan setiap hal “tentang aku” seperti semasa kanak-kanak dulu. Bermain imajinasi, bertukar peran, saling mendengar, melempar lelucon, tertawa bersama tanpa bermaksud untuk merendahkan siapapun.

Sekarang untuk sekadar bermain saja kita membawa banyak sekali beban di pundak kita. Pekerjaan, jabatan, kepemilikan, dan hal-hal lain yang sudah melekat dalam diri kita. Padahal yang kita butuhkan adalah kehangatan dan kekeluargaan.

Bukan untuk menunjukan siapa yang lebih hebat, siapa yang lebih beruntung, dan siapa yang bernasib paling baik. Kita hanya butuh bersahabat, itu saja, tanpa membutuhkan pengakuan dan alasan apapun.

Setiap keputusan yang sahabat-sahabat kita pilih, itu adalah versi terbaiknya. Ketika ia kembali bersama kita, yang ia butuhkan ialah ruang penerimaan, ruang bermain dan ruang untuk berbahagia.

Maka sejenak ketika bersama mereka, lepaskanlah semua label yang melekat tentang siapa kita. Berteman apa adanya, bersenda gurau, dan saling melepas lelah.