Aku masih belum memahami kenapa ada banyak orang tidak bisa memahami orang lain dengan lebih empati. Memang pada dasarnya memahami orang lain bukan semudah membeli pulsa di warung pinggir jalan. Tapi, ya memahami itu merupakan sebuah sikap yang begitu langka.

Tidak seperti para psikolog yang dilatih dan mempelajari seni memahami itu lewat jalur keilmuan, kita dan banyak lagi yang lain, tidak selalu bisa berlatih untuk memahami. Paling-paling lewat pengalaman. Itu pun kadang meleset dan bisa jadi malah tidak bisa memahami dengan baik.




Misalnya, ketika ada kawan kita yang tiba-tiba jarang kelihatan batang hidungnya lagi, tentu saja kawan kita itu memiliki alasan. Namun, di antara kita masih banyak yang menjustifikasi dengan menyimpulkan secara asal-asalan. Seenak dirinya sendiri, dan penuh (kadang-kadang) kesimpulan-kesimpulan negatif; prasangka-prasangka buruk.

Setelah berpikir seperti itu, aku merasa menjadi anak-anak adalah keindahan dalam hidup–meskipun kita sudah lupa rasanya jadi anak-anak, bukan?